MUTIARA
YANG TERNODA
TELAAH TERHADAP PUISI “NEGERIKU” karya A. Musthofa Bisri
(Disusun untuk memenuhi tugas individu mata kuliah Kewarganegaraan)
Oleh : Laela Nuzulul Azizah
BSA / 09110089
A.PENDAHULUAN
Menurut beberapa sumber disebutkan bahwa sastra pada awalnya adalah media untuk pengajaran terutama pengajaran moral. Bila kita amati banyak kisah-kisah kuno yang berisi tentang anjuran untuk selalu berbuat baik atau tentang balasan bagi orang yang berbuat kejahatan. Seiring dangan perubahan zaman dan keadaan perkembangan sastra pun mengalami perubahan, menjadi salah satu sarana untuk mengakspresikan ide , kreativitas dan emosi dari penulis. Dan dari sanalah lahir berbagai macam jenis sastra.
Dengan berbagi macam jenis sastra, setidaknya ada 4 fungsi sastra yang salah satunya adalah fungsi moralitas. Yaitu sastra mengandung nilai-nilai moral yang menjelaskan tentang yang baik dan yang buruk serta yang benar dan yang salah. Dalam menjalankan fungsinya ini sastra mempunyai keistimewaan yaitu mengungkapkan dengan bahasa yang indah dan bahasa perlambang, yang menjadikan kritikan, kemarahan, kejengkelan,teguran tidak terasa menyakitkan sasaran tapi tetap meresap kedalam jiwa sehingga lebih berkesan. Disamping itu perenungan dan penghayatan terhadap karya sastra akan menumbuhkan sikap arif dan bijak.
Berbagai macam jenis sastra lahir sejak zaman kuno hingga modern dengan berbagai macam tema yang diusung. Dapat kita temukan dalam khazanah Islam penyair-penyair yang berlomba-lomba menulis syair untuk mendapatkan imbalan dan kedudukan dari raja. Sedang dalam sejarah Indonesia era 50’-60’an kita temui bagaimana politik ingin menjadikan sastra sebagai corong untuk menggerakkan opini public agar mendukung pemerintahan yang berkuasa. Hal ini bertentangan dengan pendapat beberapa sastrawan muda yang menginginkan sastra pada posisinya sebagai wadah penyaluran ide bukan sebagai alat politik yang mendukung kekuasaan kelompok tertentu. Akhirnya lahirlah manifest kebudayaan “ manikebu.” Hal ini menjadi bukti kuat bahwa sastra mempunyai kekuatan yang tidak dapat dipandang sebelah mata.
Sebelum dibukanya kran demokrasi sering kita dengar atau kita baca ada beberapa sastrawan, budayawan atau seniman yang harus mendekam di hotel prodeo karena karya-karya mereka yang dianggap membahayakan penguasa. Bahkan karya-karya mereka pun disita atau dihancurkan.
Dalam karya ini penulis mencoba untuk menelisik makna-makna yang terkandung dalam puisi NEGERIKU karya sastrawan yang juga kiai, yaitu A. Bisri Musthofa. Dalam pandangan kami puisi ini mengandung paradoks antara apa yang ditulis penyair dengan realita yang terjadi dalam kehidupan nyata. Apa yang sebenarnya diinginkan sang penyair? Walaupun puisi ini ditulis 16 tahun yang lalu, akan tetapi masih relevan untuk menggambarkan keadaan negara kita saat ini.
B. TEKS PUISI “ NEGERIKU” KARYA A. MUSTHOFA BISRI
Mana ada negeri sesubur negeriku?
Sawahnya tak hanya menumbuhkan padi, tebu dan jagung,
Tapi juga pabrik, tempat rekreasi dan gedung
Perabot-perabot orang kaya di dunia
Dan burung-burung indah peliharaan mereka
berasal dari hutanku.
Ikan-ikan pilihan yang mereka santap
bermula dari lautku.
Emas dan perhiasan mereka
digali dari tambangku.
Air bersih yang mereka minum
bersumber dari keringatku.
Mana ada negeri sekaya negeriku?
Majikan-majikan bangsaku
Memiliki buruh-buruh manca negara
Brangkas-brangkas bank ternama dimana-mana
Menyimpan harta-hartaku
Negeriku menumbuhkan konglomerat
Dan mengikis habis kaum melarat.
Rata –rata pemimpin negeriku
dan handai taulannya
terkaya di dunia.
Mana ada negeri semakmur negeriku?
Penganggur –penganggur diberi perumahan,
gaji dan pensiun tiap bulan.
Rakyat kecil menyumbang
negara tanpa imbalan.
Rampok –rampok diberi rekomendasi
dengan kop sakti instansi.
Maling-maling diberi konsesi,
tikus dan kucing
dengan asyik berkolusi.
(PAHLAWAN DAN TIKUS,1995)
C. ANALISIS DARI PUISI NEGERIKU
Puisi “NEGERIKU” karya Gus Mus ini adalah salah satu isi dari buku Pahlawan dan Tikus yang diterbitkan pada tahun 1995. Pada masa itu Indonesia dipimpin oleh presiden yang fotonya tidak pernah berganti selama enam kali pemilu dan baru mundur setelah dipaksa gerakan massa pada Mei 1998 yaitu bapak Sueharto. Puisi ini termasuk dalam jenis puisi satire yaitu pusi yang mengandung sindiran atau kritik tentang kepincangan atau ketidakberesan kehidupan suatu kelompok maupun masyarakat. Hal ini tampak dari apa yang ditulis penyair berbeda dengan relita yang nyata. Sebagaimana tertulis dalam bait ke tiga baris ke 6 dan 7.
“ negeriku menumbuhkan konglomerat
dan mengikis habis kaum melarat ”
tapi realita yang tampak justru banyaknya kaum miskin di Indonesia. Terutama paska krisis monoter yang menimpa Indonesia pada tahun 1998. Bahkan kini kemiskinan menjadi komoditi yang menghasilkan uang bagi media televisi.
Puisi ini lahir sebagai salah satu kritikan atau sindiran terhadap pemerintah atas kelalaiannya menunaikan amanah rakyat. Dan keadaan saat ini sungguh lebih parah lagi, para pejabat tinggi hanya disibukkan dengan “bagi-bagi kekuasaan.” Melobi sana-sini agar mendapat jabatan dan menutup kebohongan-kebohongan dari publilk.
Ada ketidakkonsistenan dari pemerintah sebagaimana yang diungkapkan penyair pada bait pertama. Pemerintah mengatakan telah menetapkan program untuk mencapai kemakmuran bagi seluruh rakyat. Pemerintah juga mencanangkan program swasembada pangan. Hal ini tentu akan menjadi hal yang mustahil dengan maraknya pembangunan di area pertanian.
“sawahnya tidak hanya menumbuhkan padi, tebu dan jagung
Tapi juga pabrik , tempat rekreasi dan gedung mewah
Perabot milik orang kaya di dunia ”
Apakah mungkin seorang petani dapat membangun gedung mewah, tempat rekreasi atau mal-mal yang dapat menghadirkan decak kagum? Tentu semua hal tadi hanya dapat diwujudkan oleh para pemilik modal yang mempunyai sumber dana yang besar. Bahkan bukan hal yang rahasia lagi, dalam konversi lahan tersebut banyak pemilik modal menempuh cara-cara yang curang sehingga semakin merugikan petani yang lahannya diambil.
Dalam bait ke dua digambarkan bagaimana sumber daya alam dikuras habis.
Pada kalimat petama
” Dan burung-burung indah peliharan
mereka berasal dari hutanku.”
Pada kalimat pertama ini sindiran terhadap pemburuan hewan-hewan langka yang diambil dari hutan hutan Indonesia untuk dijadikan peliharaan di sebagian kaum berpunya, karena sangat mustahil orang biasa dapat membeli hewan-hewan tersebut karena harganya yang mahal, sementara untuk makan saja mereka kesulitan.
Pada kalimat ke dua
“Ikan-ikan pilihan yang mereka santap
bermula dari lautku”.
Hal ini adalah gambaran dari pengerukan sumber daya alam kelautan oleh sebagian mereka yang mempunyai peralatan yang memadai. Ditambah lagi pencurian yang dilakukan oleh kapal kapal asing. Lalu apa yang tersisa bagi kita? Bagi nelayan nelayan kecil meraka hanya mendapat sedikit yang mereka mampu ambil dari sisa-sisa tersebut dengan peraltan yang sangat sederhana sekali. Pemerintah pun tampaknya tidak mampu berbuat banyak untuk mengatasi semua permasalahan ini. Sebagai negara maritim seharusnya Indonesia mampu mengelola hasil laut untuk kepentingan negara secara optimal.
Pada kalimat ketiga
“Emas dan perhiasan mereka
digali dari tambangku”
Sumber alam yang begitu berharga inipun tak luput dari penjarahan. Walaupun negara kita adalah pemiliknya, namun hasilnya tidak pernah dirasakan oleh rakyat Indonesia sebagaimana yang terjadi di Papua. Entah beberapa bukit yang telah habis “dikeruk” tapi tak ada bukti nyata hasil dari pengerukan itu meskipun di daerah itu sendiri.
Pada kalimat keempat
“Air bersih yang mereka minum
bersumber dari keringatku”
Begitu pun dengan sumber air yang merupakan kebutuhan vital masyarakat juga turut dujual baik oleh pemda atau pemerintah pusat. Seperti yang terjadi di kota penulis berasal (Magetan), ada sumber mata air yang selama ini dijadikan salah satu sumber pengairan di beberapa area persawahan dijual kepada salah satu perusahaan swasta yang bergerak di bidang air mineral. Selanjutnya perusahaan menutupn aliran air ke area persawahan ini, sehingga para petani yang ada di daerah tersebut tidak dapat menanami sawahnya selain di musim hujan.
“Kritik indah” ini masih terus berlanjut , pada bait ke tiga digambarkan bagaimana tingkah polah sekelompok kecil kaum borjuis yang ada di negeri tercinta ini. Kelompok kecil tersebut mampu membayar
“buruh buruh manca negara.”
Ada dua kemungkinan yaitu karena untuk menjaga gengsi sebagai kaum beruang sehingga mereka harus import pegawai atau karena tenaga dalam negeri tidak mempunyai keterampilan. Disampin itu, sebagai bukti kekayaan kelompok kecil tersebut
“Brangkas-brangkas bank ternama dimana-mana
Menyimpan harta-harta(ku)” (kalimat ke2). Umumnya para konglomerat itu menyimpan harta mereka di bank- bank ternama di luar negeri dikarenakan demi keamanan uang mereka bila sewaktu-waktu terjadi kegoncangan baik karena kejahatan mereka terbongkar atau karena kondisi social politik.
“Negeriku menumbuhkan konglomerat
Dan mengikis habis kaum melarat.(kalimat ke3)
Sudah bukan rahasia lagi bagaimana hukum yang berlaku di Indonesia, kaum hartawan diberi hak istimewa sehingga meskipun mereka terpidana yang dipenjara dapat berlibur kemanapun meraka mau. Sedangkan rakyat kecil dipersulit walau sekedar untuk memperbaiki kehidupan mereka. Dan benarlah ungkapan yang menyatakan “yang kaya semakin kaya sedang yang meskin semakin miskin”
“Rata –rata pemimpin negeriku
Dan handai taulannya terkaya di dunia”(kalimat ke4).
Kalimat in ditujukan kepada para hartawan yang tidak peka terhadap keadaan di sekelilingnya. Disaat dejuta-juta orang kelaparan ada di sekelilingnya dengan asyiknya mereka justru menumpuk kekayaan.
Sedang pada bait terakhir penyair menyebutkan hal-hal yang nyata terjadi, walaupun pada kalimat pertama adalah mimpi seumur hidup
” Penganggur –penganggur diberi perumahan,
gaji dan pensiun tiap bulan.”(kalimat ke2)
Hal ini adalah sangat mustahil sekali terjadi, mengingat kondisi Indonesia saat ini. Mungkinkah memberi pengangguran rumah danpesangon sedangkan hutang negara saja menumpuk.
“Rakyat kecil menyumbang
Negara tanpa imbalan” (kalimat ke2)
Kata “menyumbang” disini lebih tepat bila dimaknai dengan”dipaksa menyumbang”. Karena sebagaimana kita ketahui berapa banyak perusahaan besar mangkir pajak atau memanipulasi laporan pajaknya tidak diberi sanksi apapun, sedangkan rakyat biasa dikejar-kejar untuk mambayarkannya. Sedang hasilnya, pajak yang dibayarkan ternyata masuk ke rekening pribadi para pegawai perpajakan sebangsa Jayus Tambunan. Atau uang tersebut digunakan untuk menggaji para pejabat negara yang hanya bisa bergulat di depan kamera karena pendapatnya yang tidak disetujui sidang atau tidur saat rapat berlangsung.
Rampok –rampok diberi rekomendasi
dengan kop sakti instans (kalimat ke3)
Maling-maling diberi konsesi
Tikus dan kucing
dengan asyik berkolusi(kalimat ke4)
Parahnya kemalangan ini kita belum berakhir,untuk melegalkan kejahatan dan semakin mudah menguras habis kekayaan negara mereka menamakan program-program yang tampak bijak, bantuan tunai langsung (BLT) bantuan operasional sekolah(BOS) dll. Sebagaimana mereka menjual izin pengelolaan sumber daya alam kepada pihak manapun asalkan mau membayar mahal. Agar mendapat keuntungan yang dapat dibagi sesama mereka tanpa mempertimbangakan dampak bagi lingkungan.
Menurut kami kalimat terakhir adalah kalimat paling manis dan sangat tepat sekali dihaturkan kehadirat para penegak hokum. Dimana (tikus) berdasi atau koruptor dan (kucing) penegak hukum dengan seluruh jajarannya berkasak kusuk di balik meja mereka untuk membuat makar yang dapat menutupi kebusukan masing- masing. Kita dengar dalam berita entah berapa banyak hakim, jaksa, polisi dan segenap”bolo kurowonya” kedapatan melakukan kejahatan terselubung.
Nah, inilah wajah nyata negeriku Indonesia.
D. SIMPULAN
Dari tulisan diatas penulis menyimpulkan bahwa puisi ini adalah sindiran bagi para pemegang kekuasaan atas penghianatan mereka terhadap amanah yang dipercayakan rakyat di pundak mereka. Entah bagainama Gus Mus dapat mencium kebusukan ini semantara puisi ini dibuat sebelum masa reformasi. Dan yang lebih mengagumkan lagi walaupun telah berlalu 16 tahun ternyata puisi ini tak meleset sedikitpun dari realita saat ini. Berhadapan dengan puisi ini seolah diingatkan, bagaimana seharusnya amanah itu dijalankan. Puisi ini juga menjadi gambaran nyata keadaan social politik negara Indonesia saat ini.
Disamping itu puisi ini adalah jeritan hati kaum yang termarjinalkan oleh sistem. Yang telah dibodohi oleh kekuasaan yang tak berhati nurani. Puisi ini ingin mengetuk hati kita, dengan lembut tanpa membuat merah muka karena marah dan malu, agar kita berempati dan bersam sama melakukan perubahan menuju Indonesia yang lebih baik.
E. BIOGRAFI A. MUSTHOFA BISRI
A Mustofa Bisri lebih dikenal dengan gus Mus. Sosok kiai yang sederhana pengasuh pondok pesantren Raudhotut tholibin leteh rembang jawa tengah. Disamping itu beliau adalah sastrawan dan budayawan yang juga pelukis.
Gus Mus lahir pada tanggal10 Agustus1947 putra dari Kh. Bisri Musthofa yang karyanya terkenal hingga masa kini yaitu kitab al-Ibris. Gus Mus menyelesaikan pendidikannya di pondok pesantren Lirboyo Jawa Timur. Kemudian dilanjutkan di pondok al MUnawwir Krapyak. Sementara pendidikan tingginya ditempuh di universitas al Azhar Kairo. Walaupun beliau lahir di lingkungan pesantren yang sarat aturan, hal itu tidak menjadikannya terkungkung dan merasa cukup. Tapi beliau adalah sosok yang peka terhadap keadaan sekililingnya dan juga bangsa Indonesia pada umumnya.
Beliau telah menulis sejak usia muda baik berupa cerpen puisi atau essai. Diantara karya beliau adalah Mutiara-Mutiara Benjol, Rubaiyat Angin dan Rumput, Pahlawan dan Tikus, Lukisan Kaligrafi dll.
F. RIWAYAT PENULIS
Laela Nuzulul Azizah mahasiswi fakultas Adab dan Ilmu Budaya UIN Sunan Kalijaga jurusan Bahasa dan Sastra Arab.
Riwayat pendidikan:
MIN MADIGONDO lulus tahun 2000
MTSM BAMBANGLIPURO BANTUL lulis tahun 2003
MA ASY SYIFA BANTUL lulus tahun 2006
UIN Sunan Kalijaga 2009-
Hobi: membaca fiksi dan melihat hujan .
Alamat : TK INSAN SHOLEH, JL LAMPAR NO 19A PAPRINGAN SLEMAN.
Cita-cita: pengusaha.
DAFTAR PUSTAKA
Waluyo, J Herman. 2003. Apresiasi puisi. Jakarta: Gramedia Pustaka
Pradopo, Rahmat Joko. 1990. Pengkajian Puisi, Yogyakarta: Gajah Mada Press
Martin, M Andre dan FV. Baskarra. Tt. Kamus Bahasa Indinesia. Surabaya: Karina
ZeinLabibah dan lathiful khuluq ,ed.200 . GUS MUS Satu Rumah Seribu Pintu. Yogyakarta. Adab press
:http://id.shvoong.com/writing-and-speaking/2152818-jenis-jenis-puisi/#ixzz1NKraTxhv25
media-sastra-indonesia.blogspot.com/2010/12/fungsi-sosial-karya-sastra.html07052011,11:45pm
shelter cloud. Blogspot.com/2009/11/ pengertian dan funsi satra.html 17 Mei 2011.11.45
id. Wikipedia.org/ wiki/ sastra/7 Mei 2011 11.30
Mutiara yang Ternoda
Sabtu, 23 Juli 2011
Thank you for visited me, Have a question ? Contact on : youremail@gmail.com.
Please leave your comment below. Thank you and hope you enjoyed...
Please leave your comment below. Thank you and hope you enjoyed...
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar