BEM BSA FAIB official website | Members area : Register | Sign in
Selamat Datang di Website Resmi BEM BSA UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

BEM BSA UIN Sunan Kalijaga

Dalam website ini, Anda dapat mengakses berbagai informasi mengenai UIN, FAIB, Jurusan dan BEM BSA diantaranya:

  • Profil, Berita, Agenda, Forum Diskusi dan Staf BEM BSA. Silahkan klik salah satu menu pilihan yang berada diatas halaman ini.
  • Informasi Mengenai Jurusan dan BEM BSA, seperti profil, visi, misi, tujuan, karya ilmiah, aktivitas akademik, Forum Diskusi, kampus, mahasiswa, galeri foto. Untuk lebih jelasnya, silahkan klik salah satu Kategori yang berada di sebelah kanan halaman ini.
  • Apabila ada kritik, saran dan masukan untuk BEM BSA. Anda bisa menghubungi kami langsung secara online dengan mengirimkan pesan ke alamat email atau ke Kantor sekretariat Kami.

Syukron 'Ala Husni Ihtimamikum

Kajian Nahwu Menurut Ibnu Madha'

Kamis, 30 Juni 2011

Share this history on :
KAJIAN NAHWU MENURUT IBNU MADHA’

MAKALAH DIAJUKAN UNTUK MEMENUHI TUGAS TARIKH AL-LUGHAH AL-AROBIYAH



Di Susun oleh :
Faiz Fikril Abror
Tika Fitriyah

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
JURUSAN BAHASA DAN SASTRA ARAB
FAKULTAS ADAB DAN ILMU BUDAYA
YOGYAKARTA
2011

DAFTAR ISI
DAFTAR ISI 2
BAB 1 PENDAHULUAN 3
1.1 LATAR BELAKANG 3
1.2 RUMUSAN MASALAH 3
1.3 TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN 4
1.4 METODE PENELITIAN 4

BAB 11 PEMBAHASAN 5
2.1 SEJARAH SINGKAT IBNU MADHA’ 6
2.1.1 BIOGRAFI IBNU MADHA’ 6
2.1.2 PERJALANAN AKADEMIKNYA 6
2.2 LATAR BELAKANG KAJIAN NAHWU IBNU MADHA’ 7
2.3 KONSEP NAHWU MENURUT IBNU MADHA’ 8

BAB 111 SIMPULAN 11 
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang Masalah
Kemajuan islam sudah tampak mulai pada masa dinasti Muawiyah dan mengalami perkembangan pesat pada masa dinasti Abasiyah. Hal ini ditunjukan dengan lahirnya ilmuan-ilmuan baik yang bergelut dalam keilmuan islam ataupun umum. Salah satu ilmu yang mengalami perkembangan pesat adalah ilmu nahwu. Pasca perkembangan di Bashrah dan Kuffah sebagaimana dijelaskan dalam kitab al-Madaris al-Nahwiyah nahwu mengalami kemajuan di Bagdad, Andalus dan Mesir periode ini nahwu sudah mengalami efesiensi dan reformulasi seperti yang disusun oleh Ibn Jinny ( w. 392 H) di Bagdad, Ibn Madha Al-Qurtuby ( w. 592 H) di Andalus, Al-Sayuthi (911 H) di Mesir.
Andalusia yang pada awalnya ditaklukan oleh Tharik bin Ziad ternyata berkembang pesat dan melahirkan banyak ulama nahwu yang sampai saat ini karangannya masih sangat monumental dan dikaji di berbagai lembaga pendidikan. Diantaranya adalah Ibnu malik, Abu Ali alQoly Al-Baghdadiy yang masuk Andalusia pada tahun 330 H di masa pemerintahan Abdurrahman An-Nashir, Abu Hayan, Al-Ufusyniq yang merupakan tokoh penggagas nahwu basroh di Andalusia, Ahmad bin Yusuf bin Hajjaj (w. 336 H) yang dikenal selalu membawa Al-Kitab dan mempelajarinya dalam keadaan luang maupun sibuk, sehat maupun sakit. Al-Kitab mendapatkan perhatian besar di Andalusia di bawah pengajaran Muhammad bin Yahya Al-Mahlabi Ar-Rabbahi Al-Jayyani (w. 353 H) dan banyak lagi yang kebanyakan mereka berkiblat pada imam Syibawaih. Tapi, pada masa al-Muwahidun munculah seorang ahli nahwu yang mengkritik keras konsep nahwu mereka dan menetaskan pemikiran barunya yang dianggap akan mengembalikan nahwu Mayrik ke tempatnya. Dia adalah Ibnu Madha seorang pakar nahwu dari Cordoba, Spanyol. Dia menyajikan konsep nahwu yang simple dan menarik yang kurang dikenal oleh para pengkaji bahasa arab. Padahal kajiannya disusun untuk mempermudah pembelajaran bahasa arab yang dianggap penuh dengan peraturan yang pelik.
1.2 Rumusan Masalah
Beranajak dari latar belakang tersebut dengan sebuah paradigma baru bahwa Ibnu Madha akan mengembalikan nahwu masyrik ke tempatnya, maka masalah yang harus dipecahkan dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimana sejarah singkat Ibnu Madha?
2. Apa yang melatarbelakanginya melakukan pembaruan dalam bidang nahwu?
3. Bagaimana Konsep nahwu menurut Ibnu Madha?

1.3 Tujuan dan manfaat penelitian
Secara ringkas, penulis mengharapkan penelitian ini dapat membuka wacana baru tentang konsep nahwu yang bernuansa baru yang ironisnya tidak diketahui oleh orang-orang yang bergelut dalam bahasa arab karena kajian nahwu yang biasanya dipelajari adalah nahwu yang bersifat penjabaran dan peringkasan. Padahal penyederhanaan nahwu yang dilakukan khususnya oleh Ibnu Madha adalah langkah maju dalam pengembangan ilmu tua ini yang menyajikan konsep yang lebih aplikatif dan lebih meminimalisir jumlah istilah dalam ilmu nahwu. Maka dengan penelitian ini penulis berharap agar para mahasiswa khuhsusnya yang berkecimpung di dunia bahasa arab tidak memandang sebelah mata pada kajian baru yang di dalamnya terdapat kontroversi dengan kajian nahwu yang biasa dikaji di pondok pesantren (khususnya), selain itu mahasiswa juga diharapkan dapat mempelajari dan menyebarkan kajian ilmu nahwu yang sudah disederhanakan guna mempercepat pembelajaran nahwu dan menumbuhkan kesadaran bahwa ilmu nahwu bukanlah ilmu yang jelimet yang dipenuhi dengan pelik-pelik yang membingungkan.
1.4 Metode penelitian
1.4.1 Menurut jenisnya penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (library research) yaitu penelitian historis tekstual dengan menghimpun data dari berbagai literature. Metode penelitian ini adalah metode kualitatif yaitu metode penelitian yang menghasilkan data deskriptif . Dengan demikian penelitian ini menuturkan, menganalisis & memfokuskan pembahasan pada konsep nahwu yang digagas oleh Ibnu Madha.
1.4.2 Pendekatan penelitian
Pendekatan yang dipakai dalam penelitian ini adalah;
a. Pendekatan subjektif adalah pendekatan yang menulusuri tentang riwayat pengarang/penulis.
b. Pendekatan obyektif adalah pendekatan yang menitikberatkan terhadap karya itu sendiri.
c. Pendekatan pragmatis adalah pendekatan yang menitikberatkan terhadap audience atau pembaca atau pemirsa karena mengandalkan aspek guna dan nilai bagi penikmatnya.





BAB 11
PEMBAHASAN

2.1 Sejarah singkat Ibnu Madha.
2.1.1 Biografi dan karyanya
Nama lengkap Ibnu Mada’ adalah Ahmad bin Abdul Rahman bin Muhammad bin Said bin Haris bin Asim Ibnu madha, Dia dijuluki Abu Abbas, Abu al-Qasim, Abu Jafar tapi ia lebih dikenal dengan julukan Ibnu Madha. Dia lahir di Cordova pada tahun 512 M dan meninggal pada tahun 592 di Asybiliyah. Selain seorang pakar nahwu, dia juga ahli fiqih dan pernah menjabat menjadi hakim. Dalam bidang keilmuan, pada abad ke 6 H, ia telah menulis 3 buku yang sangat monumental walaupun pernah terhenti dan muncul kembali pada abad 14 H/ 20 M. Tiga buku itu adalah:
1. الرد على النحاة
2. المشرق في النحو
3. تنزيه القرآن عما لايليق بالبيان
Ibnu mada’ adalah ilmuan Bani Abasiyah dari dinasti Muwahidun yang dipelipori oleh Ibnu Tumart.
2.1.2 Perjalanan akademik.
Walaupun Ibnu Madha dikenal sebagai pembaharu dalam kajian epistemology Ilmu Nahwu, namun hal tersebut tidak serta merta membuatnya melupakan dan menafikan ilmu-ilmu yang lain. Selain mempelajari ilmu Nahwu, belaiu juga belajar ilmu Fiqih dan ilmu yang berkenaan dengan tata bahasa arab. Untuk bidang ilmu Fiqih beliau sempat belajar kepada ibnu al-Araby, Bathrujiy, Rosyaathy, dan Abu Muhamad ibnu al-Munasif. Kemudian untuk bidang ilmu tata bahasa arab beliau pernah belajar kepada Abu Bakar bin Sulaiman bin Sahnun dan Ibnu ar-Romak yang pernah mengkaji kitab imam Sibawaih, gurunya yang terakhir adalah Ibnu Bisyakwal. Sedangkan guru besarnya adalah Abu ‘Abd ar-Rahman Al-Khalil ibn Ahmad ibn ‘Amr ibn Tamim Al-Farahidi Al-Azdi (100-175 H),penggagas ilmu Nahwu.
2.2 Latar belakang kajian Nahwu Ibnu Madha.
Aliran Basroh dengan panglima besarnya Sibawaih, telah mengantarkan nahwu pada perkembangan yang luar biasa. Hal ini dibuktikan dengan berkiblatnya para pakar nahwu padanya. Kitabnya yang sering disebut Alkitab –padahal Syibawaih belum sempat memberinya judul- tak seorang pun yang tahu kapan penyusunan kitab tersebut. Kitab yang dikarang Syibawaih ini benar-benar merupakan karya monumental karena pada abad ke 2 di mana Dunia dan Islam pada masa terpuruk, tetapi Syibawaih telah memamerkan kitabnya yang terdiri dari 820 bab. Tidak hanya di daerah Basroh saja, konsep nahwu yang digagas oleh Imam Syibawaih juga menyebar hingga ke Mesir dan Andalusia, sehingga hampir semua ahlii nahwu dari ke 2 negara itu berkiblat kepada Imam Syibawaih.
Sibawaih banyak mengambil manfaat dari ilmu yang dimiliki guru besarnya yaitu Abu ‘Abd ar-Rahman Al-Khalil ibn Ahmad ibn ‘Amr ibn Tamim Al-Farahidi Al-Azdi (100-175 H), yang dalam sejarah, kemashurannya dikalahkan oleh Syibawaih. Khalil adalah perintis Sintaksis Bahasa Arab yang konsep-konsep nahwunya banyak diterapkan oleh Syibawaih dalam kitabnya. Al-Khalil adalah orang yang membuat istilah-istilah nahwu seperti mubtada’, khabar, maf’ul bih, fa’il, hal, tamyiz, dan lain sebagainya. Beliau juga yang mengistilahkan rafa’, nashab, dan khafd, serta jazm pada I’rab kalimah, dan mengistilahkan harakat mabni dengan dham, fath, kasr, dan waqf (sukun).
Beliau sangat menguasai logika Aristoteles. Ada 2 konsepnya yang sangat dipengaruhi oleh filsafat, yaitu konsep tentang ‘amil dan ma’mul, Ia berusaha menguraikan fenomena-fenomena kebahasaan dengan perspektif filsafat yaitu pemikiran kausalitas (sababiyyah). Dalam pandangan ini, segala sesuatu yang “ada” di muka bumi ini mengharuskan “pengada”. Begitu pula dengan fenomena perubahan akhir kata atau i’rab, mengharuskan ada sesuatu “yang menyebabkan” hal itu terjadi. Maka Khalil menamakan penyebab itu dengan ‘amil.
Beliau juga menggagas dasar epistemologi nahwu yang meliputi sima’, qiyas dan ta’lil dan menghadirkan istilah ta’wil dan pengecualian jika terdapat contoh ucapan yang bertentangan dengan kaidah yang beliau tetapkan. Misalnya, beliau menetapkan bahwa hal harus dibentuk dari isim nakirah. Nah, ketika muncul hal berupa isim ma’rifat beliau melakukan ta’wil atau pengalihan asumsi dari yang tampak.
Namun pada abad ke 6 M. Munculah seorang pakar nahwu yaitu Ibnu Mada yang menggoyahkan mazhab itu dan dia menyusun konsep nahwu yang lebih praktis dengan menghapus beberapa bagian bab dan teori yang dikira arelevansi dengan nahwu yang mempersulit palajar untuk mempelajari ilmu nahwu dan mengembalikan nahwu pada pondasi awalnya dengan maksud mempermudah dan memperingkas. Dia berapologi bahwa konsep nahwu yang sudah tersebar dan tertumpu pada Imam Syibawaih telah memperumit kajian nahwu sehingga ia membuat konsep baru yang merobohkan pondasi Imam Syibawaih lewat 3 bukunya yang sudah dipaparkan. Beliau adalah ilmuan Bani Abasiyah dari dinasti Muwahidun yang dipelipori oleh Ibnu Tumart. Dan kenyataannya, sejak pertama berdiri, dinasti tersebut telah mengobarkan revolusi. Maka apabila kita melihat Yusuf membakar kitab madzhab-madzhab yang empat, artinya ia ingin mengembalikan fiqih Masyriq kepada tempat asalnya. Maka begitupun Ibnu Mada. Begitulah tutur Dhaif tentang kajian nahwu menurut Ibnu Madha dalam karangannya yang mentahqiq kitab karya Ibnu Mada’.
2.3 Konsep nahwu menurut Ibnu mada’
Ibnu Mada’ dalam ketiga kitabnya benar-benar telah menyingkap paradigm baru dalam kajian nahwu. Ia telah mendobrak nahwu yang sudah tersebar di kalangan masyarakat bahkan mendarah daging. Tetapi ia tidak hanya menentang saja, tetapi menawarkan konsep baru yang menurutnya lebih sederhana, di antaranya jika fiil mudhore yang sudah bernun taukid biasanya dimasukan dalam bab Mabni, dia lebih sepakat jika itu dimasukan dalam bab mansubat yang setara dengan fiil yang telah disandingi dengan oleh amil nawasib. Ia juga membuang bab Nawasikh dan memasukan kana pada pembahasan fiil yang lain.
Sedangkan di antara konsep nahwunya yang kontradiksinya dengan ulama nahwu lain sangat tampak adalah 4 teori yang penjelasannya sebagai berilkut:
a. Membuang teori amil.
Amil adalah kata yang mempengaruhi harokat akhir kata, apakah dibaca rofa, nasab, khofad atau jazm. Amil ini ada yang tampak/ lafdzi seperti kana dkk dan tidak tampak/ ma’nawi seperti ibtida yang merofakan mubtada. Teori amil ini dianggap membingungkan siswa, sehingga praktek analisis filosofis seperti ini oleh Ibnu Madza tidak efisien maka perlu untuk dikesampingkan. Karena menurutnya dan menurut ubn jinni yang memengaruhi kalimat dibaca rofa, nasab, jar dan jazm adalah penutur.bukan amil. Revolusi besar yang digagas Ibnu Madha’ dari unsur ini sangat memicu perhatian dari para pakar ilmu nahwu karena unsur itu paling dominan yang berkembang pada masa itu.
b. Mengilangkan illat tsawani dan tsawalits.
Nahwu yang berkembang di Andalusia memiliki karakteristik yang lebih rasional dari pada Basroh karena pada saat bersamaan di Andalusia sedang berkembang pengetahuan spekulatif. Misalnya ketika basroh menetapkan hukum fail adalah rofa’ maka nahwu Andalusia lebih kritis lagi dengan melahirkan wacana, mengapa rofa? Inilah ilat tsawani kemudian mempertanyakan lagi dan itulah yang disebut ilat tsawalis. Menurut Ibnu Madha’ ilat tsawani dan tsawalis ini sangat menguras pikiran siswa dan sebenarnya tidak diperlukan dalam kelancaran dan kefasihan berbicara. Dalam buku ushul an-nahwu, Ibnu madha berijtihad mutlak bahwa ilat terbagi dua yaitu ilat awal dan ilat tsawani dan tsawalis. Ilat awal bisa diketahui dari ucapan orang arab, sedangkan tsawani dan tsawalis terlepas darinya.
Ilat adalah alasan, maksudnya alasan-alasan yang diberikan dalam menganalisa kalimat dalam strukturnya, Illat tsawani maksudnya dua alasan secara bertingkat contoh الطلاب يدرسون lafadz يدرسون dibaca rafa’ dan tanda rafa’nya dengan tetapnya nun. Alasan diatas belum selesai yang diteruskan dengan satu alasan lagi nun yang digunakan sebagai tanda rafa’ dikarenakan يدرسون termasuk af’al al-khamsah.
Menurut Ibn Madha illat kedua dan ketiga di atas dapat melelahkan fikiran yang tidak mempengaruhi kefasehan berbicara sama sekali.
c. Konsep Qiyas
Hipotesis penulis tentang Ibnu Madha’ adalah ia lebih menitik beratkan konsep Sima’i. ia bahkan ia berijtiahad tidak perlu ada Qiyas kecuali jika memang pernah ada yang mendengarkan bahwa orang Arab pun pernah mengucapkannya.
Qiyas dalam nahwu adalah menganalogikan nash dalam bahasa arab yang terkini pada nash yang sudah ada menurut kaidahnya. Ibnu madha’ menghilangkan teori qiyas karena teori ini sulit dicerna oleh siswa pemula, ia menjelaskan bahwa ma’mul yang boleh terdiri dari masdar, dzorof dalam bab tanazu tidak usah menjadi maqis alaih untuk maful.
Qiyas berarti menganalogikan, maksudnya, ketika fiil mudzari dapat dikhususkan dengan menambah huruf sin maka menjadi khusus untuk zaman yang akan datang demikian juga sama dengan isim yang bisa maknanya menjadi spesifik ketika dikhususkan dengan al. Fiil mudzarik dapat menerima lam ibtida’ sebagaimana isim. Hal inilah yang pada akhirnya menimbulkan masalah.
d. Konsep Tawil
Tawil secara etimologi adalah at-tadbir, at-taqdir dan at-tafsir, sedangkan secara terminology tawil adalah membelokan bahasa dari makna dzohir pada makna yang dibutuhkan yang lebih tepat. Dalam tawil terdapat 4 komponen yaitu hadfu, istitar, pembentukan masdar dan memunculkan kata/kalimat.
Menyikapi tentang kajian Ta’wil, pendapat ibnu Madha senada dengan para ulama Nahwu yang lain. Akan tetapi apabila kita mencoba menelaahnya secara lebih dalam dan kritis kita akan menemukan ada sebuah perbedaan. Sebenarnya kajian Ta’wil tidak begitu diprioritaskan oleh para ulama Nahwu. Hal ini dikarenakan ada beberapa hal antara lain : Ta’wil hanya merupakan cabang atau atsar dari hal yang lain, Ta’wil hanya penampakan atau imbas dari pemikiran Nahwu yang lain maka ibnu Madho’ berpendapat bahwa bahwa walaupun Ta’wil tidak krusial namun merupakan hal atau gagasan yang berdiri sendiri. Kemudian perbedaan juga kita dapati pada hal yang lain, yaitu apabila para ulama Nahwu yang lain menjadikan qoidah-qoidah bahasa dan analogi/qiyas sebagai sumber berbahasa dan hal yang lain mengikutinya, maka lain halnya ibnu Madho. Beliau menjadikan ucapan dan perkataan orang Arab sebagai sumber utama kaidah berbahasa dan sementara hal-hal yang lain mengikutinya. Ibnu Madha hanya menyetujui konsep hadfu pada kalimah isim.

BAB 111
SIMPULAN

Diantara pembaharu Nahwu yang bermisi membung unsur yang tidak relefensinya dengan ilmu nahwu adalah Ibnu Madha’. Nama lengkapnya adalah Ahmad bin Abdul Rahman bin Muhammad bin Said bin Haris bin Asim Ibnu madha. Dia lahir di Cordova pada tahun 512 M dan meninggal pada tahun 592 di Isybaliyah. Di tengah kejayaan nahwu yang semuanya berkiblat kepada Imam Syibawaih, ahli nahwu yang berasal dari Basrah, Dia berapologi bahwa konsep nahwu yang sudah tersebar dan tertumpu pada Imam Syibawaih tersebut telah memperumit kajian nahwu maka ia pun membuat konsep baru yang merobohkan pondasi Imam Syibawaih lewat 3 bukunya. Diantara konsep nahwunya yang populer adalah;
1. Meniadakan teori Qiyas,
2. Menghilangkan ilat tsawani dan tsawalis
3. Membuang teori amil.
4. Meniadakan tawil

Daftar pustaka

DR Id, Muhammad. 1989. Ushul al-Nahwi al-Arabi. Kairo: Ilmu al-Kutub.
DR Dhaif, Syauqi. 1982. Tajdid an-Nahwu. Kairo: Dar al-Maarif
Syibawaih. Alkitab.
Aqil, Ibnu. 2002. Syarh ‘Ala Alfiyyah. Libanon: dar ibn Hazmi
Bahrudin online, 29 Desember 2010
Blog Zamzam Afandi, 29 Desember 2010
Blog Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Budaya Islam, 29 Desember 2010
Blog Forum Studi Nahwu (Fortuna Kudus) , 29 Desember 2010
Artikel Wildan Taufiq, M.Hum. Dosen Fakultas Adab dan Humaniora UIN Sunan Gunung Djati Bandung, 29 Desember 2010
Blog Adab dan Sastra Arab, 29 Desember 2010
Thank you for visited me, Have a question ? Contact on : youremail@gmail.com.
Please leave your comment below. Thank you and hope you enjoyed...

0 komentar:

Posting Komentar