Bersauh dalam Kidung Noda
Oleh : Syauqi F el’Taz*
Mereka tak pernah tahu akan kegelisahan yang selalu berjingkak dalam etalase hatiku. Ketakutan yang memuncak akan dunia yang semakin rapuh, semakin nista, semakin membuat Allah murka sedang aku pernah membaca surat Tuhan dalam secarik titahnya yang memaksaku untuk tak diam dengan kegentingan ini.
Sya…
B
rug…aku membantingkan pintu, kosku sepi. Prekkkk…kubantingkan semua yang ada di atas meja belajar. Aku menyobek fotoku yang framenya baru saja pecah, kebencianku aku tumpahkan pada secarik kertas yang tak punya kesalahan apapun. “Mengapa Tuhan harus menciptakan kebencian?” aku berteriak. Aku menangis sejadi-jadinya, mataku merah terbakar. Nafasku tersenggal-senggal. Sedangkan tanganku masih meremas-remas sehelai kertas yang tak ada sangkut pautnya dengan kemarahanku. Aku marah, ya…aku sedang marah. Satu hal yang tak pernah kulakukan ketika berkumpul dengan komunitasku. Sebab aku sudah terlanjur terkukung dengan persepsi emas. Padahal aku tak mau, padahal aku takut Tuhan tak setuju tentang duga mereka tentangku. Kurebahkan tubuhku dengan air mata yang masih bergeming, entah apa yang sedang ia lakukan diujung bulu mataku. Mungkin ia sedang ingin menunjukan eksistensinya yang sempat aku nafikan? Ahh… aku hanya tidak pernah setuju dengan spekulasi mereka tentang wanita. Tak semua wanita cengeng?! Tak semua wanita selalu mengenyampingkan akal dan memenaragadingkan perasan. Dengarkan baik-baik “wanita bukanlah makhluk yang diciptakan untuk pemuas birahi! Dia bukanlah boneka yang seenaknya bisa dipermainkan, disanjung dan kemudian dibuang jika sudah jemu. Dia bukan makhluk yang dengan lembut kamu belai kemudian kamu campakan begitu saja!” Aku berteriak dengan emosi yang tak terkontrol. Tapi dalam hitungan menit selanjutnya, aku terlelap dan menjemput keindahan lain yang sedang mengintipku sambil tersenyum kecut. Sedang kebencian sudah berbaur dengan sejuta rasa yang yang sudah tak berasa lagi.
Sya…
J
ogja…masih teringat betapa terengah aku menghitung lelah untuk dapat kuliah di kota pendidikan ini.
““kenapa mesti ke Jogja nduk? Tidak adakah universitas di kota ini yang gayut dengan keilmuan? Tidak kah kamu ingin menemani Abahmu ini? Membantu menyampaikan nahwu dan shorof pada adik-adikmu?” pertanyaan pak kiyai Rahmat sangat menggigit hatiku. Aku tak mampu menjawabnya barang sekata, sungkan. Aku ingin menunjukan menegakan panji agama Allah tak harus dengan pengajian yang hanya dihadiri dengan kakek dan nenek saja. Dengan tulisan rasanya bisa lebih komperhensif, dengan kata yang dianggap nyeleneh pun bisa saja termasuk dakwah. Tapi memang tak semudah pikirku. Aku selau ditampar dengan berbagai kata dan konteks yang tak sejalan dengan aturan agama yang sudah menjadi dogma yang mendarah daging.
“sok suci, memangnya Alquran mengharamkannya?” Andi menusukku tepat di ulu hati ketika aku menolak uluran tangannya. Tapi aku tak hendak diam, aku sudah terlatih mengukuhkan argument sejak menjadi ketua pondok dulu, aku selalu menyuarakan bahwa santri bukan makhluk jadul yang bisanya menunduk dan mengangguk.
“katanya aktivis NU, kamu tidak tahu bahwa bahsul masail NU yang dilaksanakan di Jakarta pada tahun 1961 menegaskan bahwa dalam pembaitan pun Rosul tak pernah bersalaman dengan wanita yang bukan mahramnya?” jawabku tak kalah sengit.
“itu kan Rosul…” jawabnya santai.
“padahal Rosul sudah dijamin masuk Surga, nah aku yang belum punya SK masuk Surga, tak salah bukan jika aku mencoba menirunya? Barang kali saja aku dapat meminjam sandalnya melintasi Sirotol Mustaqim” kataku langsung bergegas sambil menuju ruang perkuliahan dengan meninggalkan satu smile tak berjudul. Aku terpatung sejenak ketika melihat 2 makhuk yang sedang asyik bercumbu di pojok. Sambil mengangkat bahu, aku melengos pergi. Adakah Tuhan menyediakan untukku intelek yang keintelekannya tak sekedar di otak dan agamawan yang ilmu agamanya tak sekedar di lidah? Tuhan, aku dan kesetianku akan menunggu jawabMu. Ups, dosennya sudah masuk. Aku membuka pintu dengan hati-hati, tanpa salam yang diklaimnya dosa karena mengganggu aktifitas pembelajaran. Diam-diam karya terlahir dimana pun ia ingin, tanpa ijin…
Lesap yang berkelaluan
Antara lesau angin yang menemaniku menuju dermaga
Tanpa jeda
Meyaksikan desir hati yang tak berarah
Dalam perseteruannya…
-dalam ketakapahamanku-
Sya…
Sungguh pekan yang membuatku risau, itu lah yang kutahu. Bukan satu dua kejadian saja yang berlalu seenaknya tanpa permisi. Tapi rentetan peristiwa dengan tema yang persis terjadi begitu cepat di pekan ini. Kejadian yang belum lama aku saksikan di sinetron dan berita kini lewat begitu saja di depan mataku, membuatku terhenyak. Kejadian yang tak pernah kusaksikan di komunitasnya para malaikat, akh mungkin aku terlalu egois jika aku hanya sibuk memperbaiki diri.
S
ore itu aku dikejutkan dengan suara ibu paruh baya yang sangat khawatir dengan keadaan anaknya yang sulit dihubungi selama 5 bulan belakangan ini. Aku juga baru sadar ternyata aku memang sudah lama tidak melihat Fera di kampus. Bahkan aku kira dia cuti karena sakit paru-parunya yang sudah sangat parah.
“cepat kabari kalau ada informasi ya Dek…”
“geh, Insyaallah Bu…” jawabku mencoba menenangkan kekalutannya, sampai pada akhirnya ada kabar bahawa dia sedang dirawar di RS. Aku terpatung tanpa kata, bahkan ada sesak yang menggantung di tenggorokan. “melahirkan…?” suaraku parau mengulangi informasi yang disampaikan suster. Dia baru saja meninggalkan RS, dan kami kembali kehilangan informasi. Tapi aku terus melacaknya, kutahu yang ia butuhkan adalah teman.
“aku khilap Ra..aku? aku…?” segera kupeluk dan membiarkan sedunya tumpah. Ada kebencian yang tiba-tiba menyeruak setelah tahu bahwa kekasihnya ternyata meninggalkannya begitu saja, lelaki !!!
Aku kembali menjadi yang dipersalahkan
Setelah sekian abad silam ditelan masa
Menjelma,
Sepertinya aku akan kembali mengunyah kebusukan
Yang terpahat dalam secangkir dupa yang disuguhkan syetan
…
-Raya-
Di peraduan
Beralih dari dunia Pesantren dengan semua kesakralitasannya ke dunia kos dengan semua keliberalitasannya memang keinginanku. Warna yang sebelumnya tak kukira akan sejauh ini.
“aku shock kalau harus terus melihat kebiadaban ini terus bersarang di pelupuk mataku” aku menaruh kedua tanganku di kepala, segumpal gambaran yang terpotret dalam memoarku menyeruak.
Awalnya aku bersifat biasa saja ketika kudapati teman dekatku berduan dengan pacarnya diruang tamu dalam zona yang sangat dekat. Tapi ternyata setiap malam minggu kudapati semuanya asyik masyuk di kamarnya masing-masing dengan pintu yang terkunci. Dan aku? Seorang Raya yang telah 6 tahun terpasung dalam teks dan konteks agama kini harus melihat kenyataan yang menantang jihadku sebagai seorang yang pernah paham titah Tuhan. Tapi bagaimana caranya? Bahkan aku sendiri dianggap bukan benar. Aku mendengus lelah. Aku tidak boleh diam. Diam bukan solusi satu-satunya. Bukan suatu kebaikan jika aku berusaha menjadi orang baik dengan membiarkan orang lain dalam kesesatan. Aku menyandarkan tubuhku pada desir angin yang diam-diam masuk lewat celah jendela.
“Raya, mungkin malam ini aku tidak akan pulang. Kunci kamarku macet. Titip ya…” teriak mbak Lona yang disusul dengan suara deru motor.
“aku harus menyusun rencana. Ini jihadku…” bisikku menggebu.
Sya…
“apa sih kok berisik?”
“enggak tahu, tuh mantan santri cari ulah…” aku hanya tersenyum simpul, cerita baru akan dimulai bisik hatiku. Aku tidak mempedulikan protesnya ini kan hakku belaku ketika Rere menyuruhku mematikan lantunan surat Tuhan yang selalu bergema di kamar yang luasnya 3x4. Sampai pada akhirnya mereka bosan dan tidak betah berpacaran di kos, satu jalan sukses…! Seru hatiku girang.
Sya…
Aku mematikan laptopku, kantukku sudah menjadi raja. Tapi kantukku sesaat buyar, ada suara tangis. Aku segera keluar kamar, aku kaget melihat Nala yang sedang meraung sambil menjambah rambut dan membantingkan kepalanya pada dinding. Aku segera mendekapnya dan membiarkankan tangisnya membuncah sampai pada akhirnya ia bercerita tentang kekasihnya yang ternyata hanya memperalat dia. Kini orang yang baru dipacarinya 1 bulan yang lalu pergi dengan membawa motor dan laptopnya. Lelaki!!! Malam itu aku menjadi pendengar setia, aku memaksa kantuku untuk bersabar, ini adalah jihad.
Sya…
“mana Raya? Akan kubunuh dia…” teriak Rere sambil memegang pisau, matanya merah penuh dengan kebencian. Ekspresiku datar, “kau pikir pisaumu itu akan menghentikan langkahku?” Sindirku membuatnya semakin geram. Aku sudah kebal dengan cacian, ancaman bahkan tindakan-tindakan bodoh. Aku masih ingat ketika Zeni mengunciku di kamar mandi semalaman. Paginya dengan mimik sok bodoh ia membuka kamar mandi, “oh, semalam ada orang to? Maaf teman…kukira sudah tidak ada orang. “otak tumpul, tidak berani berperang ide…bisanya cuma permainan ala anak SD” kataku sambil tersenyum sinis. Tapi kali ini, Rere sepertinya tidak main-main. Aku melaporkannya pada ibunya tentang hubungannya dengan pacarnya yang sudah sangat kritis. Aku hanya khawatir dia melakukan perbuatan bodoh yang merusak nama ibunya yang merupakan guru ngaji di kampung. Tapi ia sepertinya tidak pernah memikirkan hal itu, sudah tidak heran jika ia membawa lelaki yang berbeda setiap bulannya.
“mengapa tidak kau layangkan pisaumu itu? Tentu jika tidak ada aku, kau akan bebas melakukan apapun di kamarmu. Tapi jangan harap kau akan bisa seenaknya jika aku masih ada di sini.” Ancamku puas, aku ngeri jika harus membiarkan tempat ini menjadi sarang pelacuran, masih ingat ketika aku dengan tegas mengusir pacarnya yang sedang asyik bergurau di atas kasur,aku jijik! Sudah sering kuperingatkan untuk tidak membawa teman lawan jenis ke kamar tapi dia tidak pernah menggubrisku. Dan kini, tatapannya masih tajam sedang ekspresiku tetap datar bahkan sedikit mencemooh karena ia hanya mematung. Di luar dugaan, air matanya meleleh. Aku mendongkak kaget. “apa yang kau pahami dariku Raya selain aku yang di matamu ahli maksiat?” pisaunya terlepas, aku tertegun dan memilih diam.
“ibuku sakit jantung, adeku sekolah dan se-gratis apapun sekolah tetaplah tidak menerima orang miskin. Pernahkah kau ada di posisiku? Membanting tulang untuk kehidupan? Sedang lapangan pekerjaan tidak ada yang memihak padaku selain menjual diri! Aku sudah pernah berbisinis parfum, kerudung, bahkan gorengan karena sebenarnya aku tak ingin melakukan ini, tapi itu tak cukup Ra.” nadanya tinggi dengan tangis yang kemudian pecah.
“aku tak ingin ke 4 adeku putus sekolah,, aku belum siap kehilangan ibu…” begitu naas, mengapa aku tak pernah berpikir ke arah sana, mengapa aku tak coba menyelidiki penyebab dan hanya memvonis sebab.
Tapi satu hal yang tak pernah kuprediksikan terjadi, tanpa aba-aba pacar Rere masuk, mengambil pisau. Gerakannya yang cepat tidak memberikanku waktu sedikitpun untuk mengelak takdir Tuhan. Semoga ini adalah jihad di jalanMu, Tuhan. Hanya sunyi yang kurasa…
Dengan rinai hujan
di senja 26 Feb 2010
*Cerpen ini pernah menjuarai lomba cerpen yang dilaksanakan oleh Lazuardi biru yang bertema :Jihad di Jalan Allah
*penulis adalah pengrajin sastra yang aktif di komunitas kepenulisan Matapena Rayon Yogya,
Bersauh dalam Kidung Noda
Kamis, 30 Juni 2011
Thank you for visited me, Have a question ? Contact on : youremail@gmail.com.
Please leave your comment below. Thank you and hope you enjoyed...
Please leave your comment below. Thank you and hope you enjoyed...
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar