BEM BSA FAIB official website | Members area : Register | Sign in
Selamat Datang di Website Resmi BEM BSA UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

BEM BSA UIN Sunan Kalijaga

Dalam website ini, Anda dapat mengakses berbagai informasi mengenai UIN, FAIB, Jurusan dan BEM BSA diantaranya:

  • Profil, Berita, Agenda, Forum Diskusi dan Staf BEM BSA. Silahkan klik salah satu menu pilihan yang berada diatas halaman ini.
  • Informasi Mengenai Jurusan dan BEM BSA, seperti profil, visi, misi, tujuan, karya ilmiah, aktivitas akademik, Forum Diskusi, kampus, mahasiswa, galeri foto. Untuk lebih jelasnya, silahkan klik salah satu Kategori yang berada di sebelah kanan halaman ini.
  • Apabila ada kritik, saran dan masukan untuk BEM BSA. Anda bisa menghubungi kami langsung secara online dengan mengirimkan pesan ke alamat email atau ke Kantor sekretariat Kami.

Syukron 'Ala Husni Ihtimamikum

Serenada Tinta yang Tumpah

Jumat, 01 Juli 2011

Share this history on :

Serenada Tinta yang Tumpah

Yang ingin kutulis adalah sebuah makna bukan permainan kata biasa yang sering diklaim puitis. Aku tersenyum kecut sedang tanganku masih tetap bergerak lincah di atas keyboard. Lima tahun bukan lah waktu yang cukup untuk melupakan masa itu, bahkan semuanya masih terekam jelas. Tentang kesedihan yang sempurna, membekukan air mata darah dan menumpahkan tinta kehidupan di atas kertas buram. Dan kini aku merasa sudah tidak punya kehidupan lagi. Musnah terkubur oleh perih yang tak berkesudahan.
Sya…
“Berapa usiamu?”
“Masih 19 tahun pak Kiyai,” jawabku polos
“Besok, Resti akan menemanimu membeli apa saja yang kamu perlukan. Bulan depan kamu akan menikah dengan anakku.” Mataku membulat, kaget bukan main.
“Ta..tapi pak…aku…” dengan terbata aku mengumpulkan tenaga untuk mempertahankan sebuah keberadaan yang masih utuh. Tapi sayang, sepertinya beliau tak membutuhkan jawabanku. Beliau beranjak dari tempat duduknya dan aku masih terperangah, bingung. Ada rasa perih yang tiba-tiba menusuk tajam, aku merasa tak punya pilihan hidup. Aku wayang yang tak punya suara walau sekedar untuk mengucapkan satu kata. Aku menahan sedu yang ingin segera kuteriakan sampai akhirnya suara mobil mulai menjauh membawa sosok yang penuh dengan kewibawaan itu. Hanya tangis yang dapat berbicara, mengutuk wanita lemah yang terlalu pasrah dengan titah kehidupan. “Tidak…aku tidak boleh diam untuk memertahankannya!” aku bangkit dengan keyakinan kuat bahwa aku akan mampu memertahankan cinta ini.
Sya…
“Ada apa?” matanya tidak bergeser dari kitab Hikam yang akan diajarkannya selepas dzuhur.
“Maaf pak kiyai…”aku merunduk, segan dan takut bercampur menjadi satu.
“Saya tidak bisa memenuhi kehendak pak kiyai, karena saya sudah punya pilihan” aku malu dengan kelancangan ini, sungguh hal ini adalah sangat tabu sekali bahkan mungkin kali pertama ada santri yang berani menolak perintah Pak kiyai. Tapi sungguh…cinta yang selalu mereka remehkanlah yang memberiku kekuatan untuk itu.
“Siapa?” aku semakin menunduk, membayangkan ekspresinya pun aku tak berani.
“kang Raihan…” jawabku pelan. Beliau tertawa keras dengan nada mencemoh.
“Punya apa dia? Dia hanya punya modal wajah. Otaknya jelas kosong, keluarganya? Kamu punya segalanya nduk, jangan sia-siakan itu dengan pilihanmu yang masih kekanak-kanakan.”
Aku semakin membenci semuanya, apakah memang yang berhak bersuara itu hanya orang tua saja? Maaf akan kelancanganku, tapi sungguh gadis berusia 19 tahun pun punya suara hati dan akal yang seharusnya dihargai. Aku mematung dengan air mata yang sudah tidak tahan lagi ada di tempatnya. Bantu aku…dengan cara apa lagi aku harus memertahankan cinta ini? Cinta yang dibangun di atas altar ketulusan. Apakah dia akan mencemoohkanku juga jika kukatakan demikian? Tahukah kamu…sekali pun aku tak pernah berkhalwat dengannya seperti model pacaran pada lazimnya, jika berpapasan pun aku tak berani menatapnya. Kertas-kertas itu lah yang menjadi saksi semuanya, model percintaan yang mereka anggap kuno tapi aku tak peduli! Yang kutahu sekarang adalah bahwa aku cinta dengan cinta yang tak dapat aku analogikan dengan apapun juga. Sedang kini sebuah hal yang mustahil jika cinta ini bisa sampai ke dermaganya? Harus kah aku membunuhnya? Atau aku harus melemparkannya ke dalam arus ombak? Supaya binasa! Supaya dia puas! Supaya semakin sempurna saja kesedihanku sebab sudah tak mungkin lagi biduk ini kukayuh menuju pulau harapan. Maaf pak kiyai, jika kini aku tidak bisa ikhlas mengikuti kehendakmu yang menurutku terlalu egois bahkan yang paling kusesali adalah keberontakanku ini hanya bisa terucap dalam hati saja. Terlalu menantang maut jika kesakralitasan yang ada kubantai dengan paradigmaku yang mengatasnamakan cinta.
Aku meneruskan ketikanku dengan mata yang semakin membara. Antara marah dan sakit yang sudah sangat berkepanjangan.
Hal yang paring ngiris adalah 2 minggu setelah keputusannya, secara sepihak beliau melemparkanku pada pilihannya yang lain, anak kiyai lain dari desa sebrang. Aku terperanjat, aku berusaha menguburkan penat ini, aku bukan boneka! Tapi apa yang bisa kulakukan? Aku berasal dari keluarga yang sangat menjungjung tinggi kesakralitasan pesantren. Takzim pada kiyai adalah salah satu syarat mutlak untuk mendapatkan barokahnya. Mungkin suatu paradigma yang kolot dan tidak rasional jika dipandang oleh kaum intelek tapi bagi kami yang terlahir bahkan terkukung dalam lingkaran ini, adalah suatu malapetaka besar jika kami tidak mengindahkannya. Ibuku hanya berpesan sabar dan meyakini bahwa titah kiyai itu lah yang terbaik sebab sebelumnya ia pasti sudah melakuakan istikharah berulang-ulang. Tapi adilkah untukku dan untuk dirinya? Atau aku juga diharamkan untuk mempertanyakan keadilan?
“Mungkin Ibumu dan pak Kiyai benar, aku memang tidak tahu diri ingin memetik bunga di taman sedang masuk ke tamannya saja aku tak layak!” aku hanya diam, sungguh perih mendengar kata-katanya terurai. Jika memang dibandingkan dengan putra pak Kiyai, kang Raihan memang tidak punya apa-apa. Tapi satu hal yang membuatku terkagum-kagum adalah hijrahnya yang penuh dengan perjuangan. Meninggalkan hal tak terpuji yang dulu digelutinya menuju jalan Tuhan. Ketika malam, ia berusaha meninggalkan sebatang rokok dan segelas kopi di warung belakang pondok dengan rakaat tahajud, ketika pagi ia meninggalkan bantal di kamar mesjid menuju helaian surat Tuhan.
Tapi tak ada artinya jika aku ceritakan semuanya, sebab sudah terlanjur setia realita mengkhianati asa. Aku hanya bisa berkata dengan tinta untuk mengobarkan ekspresi hati yang pada masanya kelak tintanya kan luntur dan kertasnya kan kusam dengan tetesan air mata yang berulang-ulang mengalirinya.
Sya…
Aku mati dengan gaun pengantinku yang menurut teori baju impian semua perempuan. Sesaat sebelum akad dimulai, aku masih sempat melihat matanya yang semakin layu tapi aku segera mengalihkannya. Ada getir yang ingin aku lembarkan jauh ke negeri entah berantah, ada perih yang tak jua beranjak di beranda hati. Hatiku mati tepat di hari paling bersejarah bagi setiap orang. Mengucapkan ikrar untuk lelaki yang baru saja dikenal, adakah yang bisa mengabstraksikan bagaimana sakitnya ketika orang yang kita cintai berdiri terpatung menyaksikan pernikahan kita dengan orang lain?
Ya Allah…apakah kau memvonis hatiku berzina? Maaf tapi aku benar-benar sudah kehabisan cara untuk membunuh rasa yang sudah terlanjur hidup. Ketiadaannya ternyata tak membuat cintaku surut, keberadaan penggantinya pun tak membuatnya enyah dari hatiku. Jika sudah begini, lalu siapa yang berhak disalahkan?

5 February 2011
Dalam ibaku pada tangisan getir seorang sahabat.
Syauqi F el'Taz...
Thank you for visited me, Have a question ? Contact on : youremail@gmail.com.
Please leave your comment below. Thank you and hope you enjoyed...

0 komentar:

Posting Komentar